Pekanbaru, 17 Januari 2025 — Sebuah kasus sengketa lahan di Kota Pekanbaru dengan nomor perkara 77/Pdt.G/2022/PN Pbr masih menjadi perhatian publik setelah melalui serangkaian proses hukum panjang. Warga yang menjadi tergugat dalam kasus ini mengaku bingung dengan tuntutan yang diajukan oleh pihak penggugat, yang dikenal dengan nama Ingot.
Menurut keterangan tergugat, sengketa ini bermula dari klaim sepihak atas lahan yang telah lama mereka miliki. Dalam mediasi awal, pihak penggugat melalui kuasa hukumnya sempat meminta uang damai sebesar Rp50 juta dan penyerahan surat tanah. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh pihak tergugat karena merasa tidak bersalah dan memiliki dokumen lengkap, termasuk sertifikat dan bukti pembayaran pajak tanah.
"Yang lebih aneh lagi, tanah itu dibeli penggugat dari seseorang bernama Azinar, tapi Azinar sendiri mengakui bahwa ia tidak memiliki surat tanah. Namun, hanya kami yang dituntut, sementara Azinar tidak dilibatkan dalam kasus ini," ujar ibu dari pihak tergugat.
Proses Sidang yang Penuh Kejanggalan
Selama persidangan di Pengadilan Negeri Pekanbaru, pihak tergugat menghadirkan saksi dan dokumen pendukung yang lengkap. Namun, mereka tetap dinyatakan kalah dalam putusan awal. Keputusan ini memunculkan dugaan adanya pelanggaran etika oleh panitera pengadilan, yang diduga meminta sejumlah uang untuk memenangkan kasus pihak tergugat.
"Ibu saya sempat merekam pembicaraan panitera yang meminta uang. Karena ibu saya tidak mau, kami dikalahkan," tambahnya.
Tergugat kemudian melaporkan kasus ini ke Komisi Yudisial (KY), yang merespons laporan tersebut dengan mengawasi langsung proses persidangan. KY bahkan melibatkan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) untuk memeriksa dugaan pelanggaran di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Keputusan MA dan Tindakan Sepihak Penggugat
Meskipun kasus ini telah sampai pada tingkat kasasi, hingga kini belum ada keputusan final dari Mahkamah Agung. Namun, pihak penggugat dilaporkan mulai melakukan pembangunan di atas lahan yang masih bersengketa dan bahkan menempatkan sejumlah preman di lokasi tersebut.
"Kami sudah melaporkan tindakan ini ke polisi karena mereka menggunakan dokumen palsu, seperti kuitansi dan KTP palsu, untuk memenangkan kasus. Tapi laporan kami belum ditindaklanjuti," ujar tergugat dengan nada kecewa.
Harapan Kepastian Hukum
Kasus ini kini berada dalam situasi yang menggantung, sementara keluarga tergugat terus berupaya mencari keadilan. Mereka berharap Mahkamah Agung dapat memberikan keputusan yang adil berdasarkan bukti-bukti yang telah mereka ajukan.
"Kami percaya Allah Maha Besar. Kami hanya ingin keadilan ditegakkan," tutupnya penuh harap.
Kasus ini menjadi sorotan penting dalam pengawasan terhadap integritas peradilan di Indonesia, terutama dalam sengketa tanah yang kerap menimbulkan konflik berkepanjangan di masyarakat.**Mdn
#mafia tanah