Skandal Mark-Up Tunjangan Perumahan DPRD Kampar Digarap Kejati Riau, Kerugian Negara Diduga Capai Rp20 Miliar, ICW Desak Proses Hukum

Skandal Mark-Up Tunjangan Perumahan DPRD Kampar Digarap Kejati Riau, Kerugian Negara Diduga Capai Rp20 Miliar, ICW Desak Proses Hukum

KAMPAR — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau resmi menggarap dugaan korupsi tunjangan perumahan anggota DPRD Kabupaten Kampar yang ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp20 miliar. Berdasarkan audit sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), skema mark-up terjadi sejak 2022 dengan besaran tunjangan yang melonjak tak masuk akal, mencapai Rp18 juta per bulan per anggota dewan.

"Di Kampar, harga sewa rumah tertinggi hanya sekitar Rp10 juta. Rata-rata malah Rp1 sampai Rp5 juta. Jadi Rp18 juta jelas-jelas mark-up," ujar Yogi, mahasiswa pascasarjana.

Sumber di Kejati Riau menyebut, persoalan ini mulai terungkap melalui koordinasi awal dengan eks Penjabat (Pj) Bupati Kampar, Hambali. Saat itu, Pemkab Kampar melakukan upaya pengembalian barang inventaris berupa HP jenis Samsung Volt, sebagai bagian dari tindakan preventif antikorupsi.

“Dari hasil koordinasi antara Kejati dan Pemda Kampar melalui Pj Bupati, muncul informasi awal terkait dugaan penyimpangan tunjangan perumahan DPRD Kampar yang nilainya mencapai puluhan miliar. Dari situlah Kejati mendorong dilakukan audit oleh BPK,” ungkap sumber kejaksaan.

Dugaan ini mencuat setelah adanya pemangkasan anggaran perjalanan dinas (SPPD) akibat pandemi Covid-19. Untuk menyiasatinya, tunjangan perumahan justru dinaikkan drastis tanpa melalui survei pasar atau kajian independen, yang semestinya menjadi dasar penetapan sesuai Pasal 124 PP No. 18 Tahun 2017 dan Permendagri No. 62 Tahun 2017.

Sejumlah nama pimpinan DPRD Kampar periode 2022–2024 diduga kuat terlibat mengatur skema mark up, seperti FM, TH, REP, FS, serta anggota MA dan ZA. Mereka disebut sebagai pihak yang menyetujui dan mengatur skema kenaikan tunjangan melalui forum internal dewan.

"Tanpa restu pimpinan, anggaran tak mungkin disahkan. Ini jelas terstruktur," tegas sumber kejaksaan.

Potensi Kerugian Negara

Periode 2022–2024 (30 bulan): Rp13,5 miliar

Periode 2024–2025 (8 bulan): Rp3,6 miliar

Total estimasi: Rp17,1 miliar

Beberapa anggota dewan disebut mulai mengembalikan dana. Namun pengembalian secara utuh dinilai hampir mustahil, karena banyak yang tidak lagi menjabat dan tak memiliki kemampuan finansial.

“Pengembalian itu sulit. Maka proses hukum sangat penting,” kata sumber internal.

Tak hanya soal tunjangan, Kejati juga mulai menelusuri belanja makan dan minum (mamin) pimpinan DPRD Kampar yang diduga menjadi ladang korupsi lain dengan potensi kerugian negara mencapai puluhan miliar rupiah.

Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui peneliti Kurnia Ramadhana menegaskan bahwa proses hukum tak bisa berhenti hanya karena ada pengembalian dana.

“Pengembalian uang tidak menghapus unsur pidana. Jika ada kerugian negara dan perbuatan melawan hukum, maka itu adalah korupsi,” tegasnya.

Ia mendesak Kejati Riau untuk segera menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan agar praktik serupa tidak terus berulang.

Jika terbukti bersalah, para pelaku dapat dijerat dengan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman: Penjara: Minimal 4 tahun, maksimal 20 tahun Denda: Maksimal Rp1 miliar

Wartawan juga mencoba mengonfirmasi kepada salah satu anggota aktif DPRD Kampar dari Fraksi Gerindra, berinisial J. Ia mengaku tengah pusing menghadapi tuntutan pengembalian uang dan bayang-bayang proses hukum.

“Kami pusing sekarang. Ini berat,” ujarnya singkat. (hr)

#Dugaan Keterlibatan Anggota DPRD Kampar #Skandal Sewa rumah DPRD Kampar #korupsi Berjamaah DPRD Kampar