Harian Suluh- Kamis pagi, 24 April 2025, suasana Pondok Pesantren Darul Huda di Desa Trimulya Jaya, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, tampak berbeda dari biasanya. Aula sederhana di sudut bangunan pesantren dipadati oleh para santri, tokoh masyarakat, aparat keamanan, dan perangkat desa. Mereka tak sekadar berkumpul untuk mengikuti pengajian atau kegiatan rutin pesantren, melainkan untuk menyimak pemaparan dari seorang wakil rakyat: Sewitri, SE, M.Sos., anggota DPD/ MPR RI daerah pemilihan Riau.
Dalam balutan kerudung putih dan busana bernuansa floral, Sewitri berdiri di depan hadirin, memegang mikrofon warna emas, menyampaikan materi tentang Empat Pilar MPR RI. Sewitri yang juga merupakan Ketua Muslimat NU merasakan nuasana di pesantren selalu memberikan energi positif. “Pondok pesantren adalah benteng moral bangsa. Santri adalah penjaga nilainya,” kata Sewitri membuka pidato.
Empat Pilar MPR RI yang disosialisasikan mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta Bhinneka Tunggal Ika. Menurut Sewitri, keempat pilar ini tak sekadar jargon kenegaraan, tetapi nilai-nilai hidup yang harus dipraktikkan dalam keseharian.
“Kita tidak bisa hanya menghafal Pancasila, tapi harus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari—dalam bertetangga, bermasyarakat, bahkan dalam memilih pemimpin,” ujar Sewitri dengan nada yang tegas namun bersahabat.
Acara ini digelar di tengah meningkatnya tantangan kebangsaan, mulai dari polarisasi sosial, derasnya arus informasi di media sosial, judi online, narkoba, hingga gerakan intoleransi yang menyusup ke ruang-ruang pendidikan. Dalam konteks itu, pesantren dinilai memainkan peran strategis sebagai penjaga ideologi dan kebhinekaan.
“Santri hari ini bukan hanya harus menguasai kitab kuning, tapi juga harus melek konstitusi dan paham arah bangsa. “Kita ingin santri menjadi pemimpin yang paham akar budaya bangsa dan mampu menjawab tantangan zaman.” ujar Sewitri.
Acara sosialisasi ini berlangsung interaktif. Sejumlah santri dan tokoh masyarakat mengajukan pertanyaan, mulai dari implementasi nilai Pancasila dalam dunia digital hingga peran MPR dalam penguatan wawasan kebangsaan di daerah.
Hadir dalam acara tersebut sejumlah tokoh lokal, perwakilan TNI dan Polri, Kepala Desa Trimulya Jaya serta perangkat desa. Di meja-meja, tersaji kudapan sederhana: buah pisang, jeruk, lemper, gorengan, kue cucur dan air mineral. Suasana hangat dan penuh kekeluargaan membingkai diskusi yang sejatinya membahas hal-hal besar: masa depan bangsa.
Bagi Sewitri, mendekatkan lembaga negara dengan rakyat bukan sekadar program kerja.
“Ini adalah panggilan nurani. MPR harus hadir bukan hanya di gedung Senayan, tapi juga di desa-desa seperti Trimulya Jaya,” katanya menutup sesi.
Sementara matahari mulai condong ke barat, para peserta perlahan membubarkan diri. Santri kembali ke bilik-bilik mereka. Tapi semangat kebangsaan yang ditanamkan hari itu, semoga tetap tumbuh—seperti pohon yang akarnya tertanam kuat di bumi, dan daunnya menjulang ke langit.
#sewitri