Ledakan Amarah Publik: Spanduk Kecam Skandal Seksual Oknum DPRD Kampar Warnai Kota Pekanbaru

Ledakan Amarah Publik: Spanduk Kecam Skandal Seksual Oknum DPRD Kampar Warnai Kota Pekanbaru

HARIAN SULUH. COM - Pekanbaru , Gelombang kemarahan masyarakat terhadap dugaan skandal seksual yang melibatkan seorang anggota DPRD Kabupaten Kampar meledak dalam bentuk spanduk-spanduk bernada kecaman yang tersebar di berbagai sudut strategis Kota Pekanbaru. Spanduk-spanduk tersebut memuat pesan tegas yang menuntut penegakan hukum dan pengusutan tuntas kasus yang mencoreng wibawa lembaga legislatif.

Salah satu spanduk yang mencuri perhatian bertuliskan, “DPRD Kampar Tak Boleh Jadi Sarang Predator Seksual!”, terpampang jelas di lokasi-lokasi padat lalu lintas. Sementara itu, spanduk lain yang dipasang di jembatan penyeberangan orang (JPO) Jalan Jenderal Sudirman — tepat setelah pintu keluar Bandara Sultan Syarif Kasim II — berbunyi lantang, “PEREMPUAN BUKAN MAINAN — USUT DAN PENJARAKAN!” Lokasinya yang strategis menjadikan pesan moral ini langsung terbaca oleh siapa pun yang baru tiba di jantung kota.

Menurut informasi yang beredar luas, oknum DPRD tersebut diduga menjalin hubungan gelap bertahun-tahun dengan seorang perempuan muda. Mirisnya, korban tidak hanya disetubuhi secara tidak sah, tetapi juga disebut-sebut pernah dipaksa menggugurkan kandungan setelah hamil akibat hubungan tersebut. Ironisnya, sang legislator dikenal sebagai tokoh agama dan politisi partai yang kerap menjual isu moral, perlindungan perempuan, dan nilai-nilai keagamaan.

Kemarahan publik tidak datang tanpa alasan. Tindakan tersebut bukan hanya dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat, tetapi juga penghinaan terhadap norma adat dan nilai-nilai religius yang dijunjung tinggi masyarakat Kampar. “Kalau yang duduk di kursi dewan justru predator, siapa lagi yang bisa dipercaya?” ujar salah satu aktivis perempuan di Pekanbaru.

Secara hukum, tindakan yang diduga dilakukan oleh oknum tersebut berpotensi melanggar sejumlah pasal pidana. Pasal 285 hingga 290 KUHP mengatur soal pemaksaan hubungan seksual dan perbuatan cabul dengan ancaman hingga 12 tahun penjara. Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) mempertegas sanksi terhadap kekerasan seksual berbasis relasi kuasa dan pemaksaan aborsi, dengan ancaman penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp500 juta.

Pemaksaan aborsi juga melanggar Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar. Sementara itu, dari sisi etika dan administrasi, sang oknum bisa dijatuhi sanksi oleh Badan Kehormatan DPRD berdasarkan Kode Etik dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, mulai dari teguran hingga pemecatan tetap.

Desakan agar kasus ini diproses secara transparan dan akuntabel mengalir deras dari berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh adat, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok advokasi perempuan. Mereka menolak keras upaya pembungkaman dan impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual yang berlindung di balik jabatan publik.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari DPRD Kampar maupun partai politik tempat oknum tersebut bernaung. Sementara masyarakat menanti: akankah keadilan benar-benar ditegakkan, atau lagi-lagi dikubur di bawah karpet kekuasaan? ***Raja

#Skandal Mesum DPRD Kampar