Merasa Kebal Hukum, Mafia Perambah Hutan Kampar Kiri Dilaporkan ke Bareskrim, Kejagung, dan KPK

Merasa Kebal Hukum, Mafia Perambah Hutan Kampar Kiri Dilaporkan ke Bareskrim, Kejagung, dan KPK

HARIAN SULUH - Kampar, Riau – Ribuan hektare hutan produksi terbatas di Desa Sungai Sarik, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, Riau, dilaporkan telah dirambah dan dijadikan kebun kelapa sawit secara ilegal. Tindakan ini diduga dilakukan oleh kelompok yang dipimpin oleh Bogan Sembiring, Albert Tarigan, Okta, dan sejumlah nama lainnya yang menguasai lahan tanpa izin resmi dari instansi berwenang.

Berdasarkan temuan di lapangan, para pelaku hanya berbekal Surat Keterangan Tanah (SKT) dari pihak desa tanpa izin dari Dinas Kehutanan atau otoritas terkait. Ketua Komunitas Pecinta Alam Riau (Kopari), Wagimin, menilai perambahan ini tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan oknum yang memberikan perlindungan.

 "Kami menduga kuat aksi ini dibekingi oleh oknum Dinas Kehutanan dan pihak tertentu. Bagaimana mungkin lahan seluas lebih dari 2.500 hektare bisa dirambah tanpa sepengetahuan aparat berwenang? Setelah melengkapi semua alat bukti, kami sepakat akan segera membuat laporan resmi ke Bareskrim Mabes Polri, Kejagung, dan KPK. Kami ingin para perusak hutan ini ditangkap dan diproses hukum secepatnya," tegas Wagimin.

Muhamadun, perwakilan dari Lembaga Adat Negeri (LAN) Riau Daratan, juga mengecam keras tindakan ini. Ia menegaskan bahwa perusakan hutan bukan hanya kejahatan lingkungan, tetapi juga penghianatan terhadap masyarakat adat dan generasi mendatang.

 "Hutan adalah warisan adat yang harus dijaga. Perusakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat sekitar. Setelah mengumpulkan bukti kuat, kami akan melaporkan kasus ini ke Bareskrim, Kejagung, dan KPK agar tidak ada yang merasa kebal hukum. Semua pelaku, termasuk oknum yang melindungi mereka, harus ditindak tegas," ujar Muhamadun. 

Para pelaku diduga melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan, di antaranya:

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H): Ancaman pidana penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar bagi pelaku perusakan hutan secara sistematis dan terorganisir. Hukuman lebih berat bagi pelaku yang melibatkan korporasi atau pejabat negara.

2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan: Ancaman pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar bagi pihak yang menguasai dan mengubah fungsi kawasan hutan secara ilegal.

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang: Ancaman pidana penjara hingga 3 tahun dan denda maksimal Rp500 juta bagi pihak yang melakukan konversi hutan tanpa izin tata ruang.

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Ancaman pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar bagi pihak yang menyebabkan kerusakan lingkungan skala besar.

5. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Percepatan Pengendalian Perusakan Hutan dan Lahan: Menegaskan larangan alih fungsi hutan tanpa izin pemerintah pusat. Menginstruksikan penegakan hukum yang tegas terhadap mafia perusak hutan, termasuk sanksi pidana bagi pejabat yang melindungi pelaku.

6. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan: Mengatur bahwa pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin resmi adalah tindak pidana yang dapat berujung pada pencabutan hak atas tanah dan hukuman pidana.

Wagimin menegaskan bahwa skala perambahan yang terjadi tidak mungkin terjadi tanpa perlindungan pihak tertentu.

 “Mustahil lahan seluas ini dirambah tanpa ada yang membackup. Kami juga meminta agar oknum Dinas Kehutanan yang terlibat diperiksa,” tambahnya.

Komunitas lingkungan dan masyarakat adat menuntut agar Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau segera melakukan penyelidikan mendalam terhadap kasus ini, termasuk keterlibatan oknum yang melindungi para pelaku.

Berdasarkan laporan yang diterima, kepemilikan lahan yang dikuasai secara ilegal meliputi:

Bogan Sembiring (500 hektare)

Albert Sembiring (500 hektare)

Haji Dinur (150 hektare)

Okta (100 hektare)

Beberapa nama lainnya seperti RP, Ronal, TS, Manik, dan Purba.

Ronal diketahui memiliki alat berat sebanyak tiga unit yang diduga juga digunakan untuk aktivitas tambang emas ilegal. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa kelompok ini tidak hanya merusak hutan, tetapi juga terlibat dalam kejahatan lingkungan lainnya.

Selain itu, Albert Tarigan bahkan mengaku memiliki dukungan politik.

"Albert terang-terangan menyebut bahwa dirinya dibekingi oleh partai Gerindra dan memiliki koneksi di Jakarta," ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Masyarakat dan tokoh adat meminta agar kasus ini ditindak tanpa pandang bulu. Mereka menegaskan bahwa sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, tidak boleh ada pembiaran terhadap perusakan hutan dan lingkungan.

"Jangan ada impunitas bagi pelaku kejahatan lingkungan. Hutan adalah warisan yang harus dijaga demi generasi mendatang," tegas Wagimin.

Muhamadun menambahkan, “Kami tidak akan tinggal diam. Jika kasus ini tidak ditindak, maka akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan hutan di Indonesia. Kami menunggu langkah konkret dari penegak hukum. Jangan sampai ada yang dilindungi!"

Masyarakat berharap agar laporan yang akan diajukan ke Bareskrim Mabes Polri, Kejagung, dan KPK bisa menjadi langkah awal dalam mengungkap jaringan mafia perusak hutan di Kampar Kiri dan mencegah aksi serupa terjadi di masa mendatang.

Dengan dasar hukum yang kuat, masyarakat mendesak agar aparat penegak hukum segera bertindak sesuai instruksi Presiden Prabowo yang menekankan penertiban kawasan hutan dan pemberantasan mafia perusak lingkungan.

Jika tidak ada tindakan tegas, bukan hanya lingkungan yang hancur, tetapi juga kepercayaan publik terhadap penegakan hukum akan semakin luntur. (mdn)

#mafia tanah #Segel Kebun Ilegal #Mafia hutan #KPK #MABESPOLRI #Kejagung